Rabu, 15 April 2009

Menyimak Sejarah Kemelut Tiga Agama

Judul Buku : Kemelut Peradaban Kristen, Islam dan Yahudi

Penulis: Bernard Lewis

Penerbit: IRCiSoD, Maret 2001

Jumlah Halaman:
iv + 126 halaman

B ernard Lewis secara komprehensif dalam buku ini mengupas sejarah
kemelut tiga agama: Kristen, Islam, dan Yahudi. Lewat buku berjudul
Kemelut Peradaban Kristen, Islam dan Yahudi, Lewis ingin mengajak
pembaca menyimak sejarah kemelut tiga agama tersebut yang memang pada
tataran dan segmen-segmen tertentu sering terjadi perselisihan.

Hal itu terjadi lantaran memang akar peradaban agama-agama tersebut
memunculkan kemelut antara satu dan yang lainnya.

Pemakluman sejarah tentang kemelut antara tiga agama itu, terutama
Islam-Kristen, bukanlah dimaksudkan untuk terus dibina secara
permanen. Tetapi, sebagai bukti sejarah yang agaknya seperti
dilukiskan Lewis dalam buku ini, bahwa pada segmen-segmen tertentu
sukar disumbat.

Para tokoh agama-agama tersebut memiliki andil yang signifikan dalam
meminimalkan apa yang disebut ''bentrokan'' antarumat beragama.

Buku yang berjudul asli Cultures in Conflict Christian, Muslim, and
Jews itu dikemas ke dalam tiga bagian.

Bagian pertama menyoroti tentang penaklukan dan titik krusial hubungan
antaragama. Bagian kedua membahas soal pengusiran, agama privat versus
agama publik. Sedangkan bagian ketiga menyajikan ihwal abad penemuan
jalan pencerahan.

Kemelut Agama

Seperti dipaparkan Bernard Lewis dalam buku ini, kemelut agama-agama
tersebut sebenarnya terjadi karena antara agama itu, khususnya Islam
dan Kristen, dan dalam hal lain Yahudi, masing-masing meyakini sebagai
agama yang paling benar atas perintah Tuhan. Islam dan Kristen
khususnya sama-sama meyakini sebagai agama yang mementingkan dakwah
dan misionaris.

Memang sudah jadi kenyataan, kata Lewis, Kristen dan Islam satu sama
lain saling mengkafirkan. Namun, sebenarnya pada saat yang bersamaan,
keduanya memiliki kemiripan, bahkan dalam segi peribadatan sekalipun.
Keduanya mengaku memiliki universalitas kebenaran yang final dari
kalam Tuhan. Tugas merekalah untuk menyebarkan kebenaran wahyu Tuhan
tersebut ke semua manusia di permukaan bumi (halaman 26).

Selanjutnya, Islam juga sangat toleran, berbeda dengan Kristen Eropa
di zaman pertengahan yang hampir tanpa toleransi atas kepercayaan
lain, bahkan dengan perbedaan yang ada dalam tubuh mereka sendiri.
Sementara Islam menerima kehadiran agama tertentu (yang diakui
pemerintah) di wilayahnya.

Pada zaman modern, tambah Lewis, hal itu disalahartikan dengan
menganggap konsep-konsep tersebut sebagai ''kesetaraan''. Pengakuan
kesetaraan hak oleh ''orang beriman'' kepada yang ''tidak beriman'' di
kedua sisi wilayah Mediterania, misalnya, saat itu dianggap sebagai
suatu penyimpangan terhadap kewajiban ilahi.

Masyarakat Islam dapat melakukan toleransi itu, dan Islam rela hidup
berdampingan dengan agama lain yang bebas melakukan peribadatan.
Tetapi, dalam konsep pengampunan Kristen, Islam telah menjadi ''anak
tiri'', dengan mengklaim Islam sebagai agama yang salah dan telah
menyimpang. Daya tarik yang ditawarkan Islam di masa perkembangannya
telah pudar ketika umat Islam mengalami kemunduran.

Sedangkan agama Yahudi dalam konsep Kristen (sebelum kedatangan
Kristen) tidak bisa dianggap menyimpang. Kitab suci Yahudi menyatakan
bahwa Perjanjian Lama telah diadopsi oleh orang Kristen. Kemudian umat
Kristen menambahkan Perjanjian Baru yang menjelaskan bagaimana agama
Kristen datang untuk menyempurnakan wahyu dan memenuhi janji Tuhan
yang telah diberikan pada umat Yahudi.

Dengan logika itu, seharusnya orang Yahudi menjadi orang pertama yang
menyambut baik dan menerima ketentuan baru tersebut. Yaitu dengan
menggabungkan identitas mereka ke dalam Kristen sebagai penerus wahyu
baru pilihan Tuhan.

Sebagian umat Yahudi memang menerima pandangan itu sepenuhnya dan
menganggapnya sebagai langkah awal untuk menjadi umat Kristen. Tetapi,
Yahudi yang berpendirian teguh menolak. Bertahannya agama Yahudi
sebagai agama yang terpisah dari Kristen dianggap sebagai cermin
keraguan terhadap doktrin pokok iman Kristen. Kendati begitu, umat
Yahudi tidak bisa dituduh mengingkari ''pilihan dan janji''. Lain hal
dengan umat Islam yang benar-benar menentang kenyataan tersebut.

Penolakan mereka (Islam) atas interpretasi Kristen mengenai doktrin
Bibel merupakan tantangan bagi Kristen pada bagian-bagian sensitif
dari keimanan mereka (Islam) (halaman 49).

Selanjutnya, dalam data sejarah, Las Navas de Tolosa berhasil
mengalahkan kekuatan Muslim terakhir di Semenanjung Iberia. Hanya
sebagian kecil daerah Muslim yang terisi. Granada menjadi kota
terakhir yang bisa dipertahankan kaum Muslim.

Selama delapan abad Islam memerintah di Semenanjung Iberia, Kristen
dan Yahudi bisa bertahan, bahkan cenderung mengalami pertumbuhan.
Sebaliknya, penaklukan Kristen yang dilakukan di semenanjung tersebut
berakibat fatal bagi Islam dan Yahudi (halaman 28-29).

Setelah Granada ditaklukkan Kristen dengan negosiasi, orang-orang
Yahudi terusir dari kota tersebut. Pengusiran itu di bawah restu
Ferdinan dan Isabell.

Umat Islam memang tidak diperlakukan seperti Yahudi karena pada awal
penaklukan Granada disepakati jaminan keselamatan umat Islam. Tetapi
selanjutnya, kondisi Granada yang demikian membuat banyak orang Islam
yang ingin meninggalkan Granada. Kaum Muslim pun ''terusir'' dengan
keadaan. Sehingga, sejumlah penduduk Muslim kelas atas berangkat ke
Afrika Utara (halaman 52, 67).

Buku ini memberi makna yang dalam bagi kehidupan dan keberagamaan
umat. Apalagi di tengah kehidupan keberagamaan yang pluralis.
Toleransi umat beragama menjadi titik kunci dari pesan isi buku ini.

Yahudi talk

Bangsa Yahudi adalah bangsa pengembara ulung sejak jaman purba. Mereka mengembara di sekitar Timur Tengah, bukan hanya karena faktor tuntutan hidup tetapi juga karena faktor politik. Ketika hidup di perantauan, dipengasingan bangsa lain yang lebih mapan seperti Mesir, Persia,dsb bangsa Israel melihat sendiri bagaimana kehidupan spiritual bangsa-bangsa tersebut.
Pada umumnya, setiap kebudayaan kuno itu mempunyai sistem keagamaan yang unik yang kebanyakan memakai pola Polytheisme. Setiap unsur kekuatan (terutama kekuatan alam) dan kekuasaan diwakili oleh sosok Dewa atau Tuhan. Misalkan untuk pemujaan terhadap matahari, maka ada dewa Matahari, ada dewa/wi bulan, ada dewa laut, dewa hujan dan lain sebagainya. Demikian juga untuk merepresentasikan konsep keunggulan terhadap suatu hal, misalkan perang, ketrampilan mengolah pertanian, ketrampilan mengolah logam, menulis sastra dan sebaginya juga diwakili oleh dewa-dewa dengan kemampuan tersebut.

Ciri khas pada Yahudi adalah, agama tersebut muncul dengan lawan utamanya yaitu kaum paganMaka Yahudi digambarkan sebagai asal mula bagaimana manusia mendapat pencerahan tentang Tuhan yang satu.